Hello!
Setelah kemarin membahas masalah liburan atau jalan-jalan, cerita kali ini kembali membahas tentang masalah IVF. Seperti yang sudah saya ceritakan di tulisan sebelum-sebelumnya bahwa dalam waktu dekat ini saya akan kembali mengulang IVF setelah kegagalan yang saya alami di IVF ke-2. Setelah cerita IVF ke-3, entah gagal atau sukses nantinya, saya tidak akan menuliskan cerita IVF lagi karena saya dan suami berkomitmen bahwa IVF ke-3 ini adalah IVF terakhir yang akan kami jalani. Selain karena sudah mencapai batas kemampuan finansial kami, saya pun merasa sudah cukup saya “menyakiti” tubuh saya dengan berbagai obat dan suntikan hormon.
After effects yang saya rasakan setelah IVF ke-2 adalah imbalance hormones. Apabila biasanya saya mens hanya sekitar 5 hari sudah bersih, setelah IVF ke-2 saya baru bersih mens setelah 12 hari! Memang tidak sampai keluar darah yang berlebihan tapi tetap saja rasanya tidak nyaman. Sepertinya tubuh saya masih menyesuaikan dengan lonjakan hormon yang terjadi.
Satu bulan setelah peristiwa tersebut, saya datang kembali ke Family Fertility Center (FFC) – RSIA Family Pluit untuk konsultasi awal dengan dokter Malvin Emeraldi sebelum lanjut ke program IVF ke-3.
23 Maret 2019
Saya datang ketika mens hari ke-2. Dari hasil USG transvaginal, ada peningkatan jumlah antral follicles saya dari sebelumnya (saat memulai IVF ke-2), dari 5 buah menjadi 11 buah. Dari pemikiran saya, kemungkinan peningkatan jumlah follicles ini adalah karena sisa-sisa suntikan hormon dari IVF ke-2 yang masih tersisa di tubuh saya. Tapi saya sangat mensyukuri hal ini. Semakin banyak jumlah antral follicles seharusnya akan menambah chance keberhasilan suatu program IVF.
Dokter Malvin bertanya kepada saya, apakah saya hormonnya jadi kacau setelah IVF ke-2 kemarin? Karena memang biasanya demikian yang dialami pasien lainnya. Saya kemudian menceritakan tentang masalah mens saya bulan lalu yang sampai 12 hari. Oleh dokter kemudian saya diresepkan pil kontrasepsi alias pil KB. What??!

Pil kontrasepsi yang diresepkan ke saya bernama Microgynon. Harganya sekitar Rp. 15.000 / strip. Kandungan dalam Microgynon adalah Levonorgestrel 0,15 mg + Ethinylestradiol 0,03 mg. Cara kerjanya adalah dengan mencegah ovulasi sehingga bisa mencegah terjadinya kehamilan sampai dengan 99%. Hmmm.. Tapi kan saya tidak sedang prevent pregnancy, lalu apa manfaatnya buat saya? Ternyata, obat ini mengandung kombinasi hormon yang bisa memperlancar siklus haid. Selain itu, dengan cara kerja mencegah ovulasi, diharapkan sel telur saya tidak ada yang membesar, semua seragam dengan ukuran kecil saat siklus mens yang baru. Kadang sisa-sisa hormon suntikan dari IVF di tubuh kita bisa membuat sel telur kita membesar seakan-akan sedang distimulasi. Sementara dengan hormon yang kacau belum tentu kita bisa melakukan ovulasi. Kalau tidak ovulasi berarti sel telur itu akan jadi kista fungsional di rahim. Intinya jadi ribet sendiri deh. Hahaha. Pil ini juga efektif untuk wanita dengan cadangan telur yang sedikit seperti saya (low AMH) supaya stok telurnya tetap terjaga utuh, tidak berkurang akibat ovulasi.

Saya diwajibkan untuk meminum Microgynon mulai hari ini (hari ke-2 mens) sampai tuntas 21 hari dengan dosis 1 x 1 hari. Tidak boleh ada yang terlewat pil-nya dalam satu hari dan dianjurkan untuk diminum di waktu yang sama. Dari 1 strip pil, yang diminum hanya yang pil kecil warna beige / kuning sesuai dengan nama urutan harinya. Untuk pil putih diabaikan saja karena merupakan pil tanpa hormon. Saya diinfokan juga bahwa setelah pil terakhir (pil ke-21), maka 4-5 hari kemudian saya akan mulai mens. Saya disuruh datang kembali untuk kontrol saat hari ke-2 mens.

Selain masalah hormon, saya juga menginformasikan kepada dokter Malvin bahwa suami saya terdiagnosa (oleh dokter umum) terkena penyakit Herpes Oral / Cold Sores. Awalnya saya dan suami juga tidak menyangka bahwa lesi merah dan berbintik pada sudut bibirnya adalah Herpes. Kami kira hanya sekedar jerawat saja. Akan tetapi setelah ke dokter, suami didiagnosa Herpes Oral dan kemudian diberikan obat anti virus Isoprinosine tablet 500 mg 3 x 1 hari dan salep Kenalog untuk mengurangi inflamasi. menurut dokter, virus Herpes ini tidak bisa 100% disembuhkan, dia bisa muncul kembali saat daya tahan tubuh penderitanya sedang lemah. Oleh karena itu saya dihimbau untuk rajin minum vitamin untuk daya tahan tubuh terhadap virus.
Perlu saya klarifikasikan disini bahwa penyakit Herpes Oral tidaklah sama dengan Herpes Genitalia. Jenis virusnya pun berbeda, kalau herpes oral virusnya HSV-1 sedangkan Herpes Genitalia virusnya HSV-2. Lokasi terjadinya lesi pun beda, kalau Herpes Oral di sekitar mulut sedangkan Herpes Genitalia adalah di alat kelamin. Banyak orang yang mengaitkan herpes dengan “penyakit nakal” karena seks bebas. Tapi saya menjamin bahwa suami saya bukanlah tipe orang seperti itu. Kemungkinan lain yang bisa menjadi penyebabnya adalah terjangkit dari alat makan yang tidak bersih pencuciannya saat makan diluar rumah.
Dikarenakan penyakit herpes ini menular, saya akhirnya disuruh tes paket TORCH (Toksoplasma, Rubella, Cytomegalovirus / CMV, Herpes Simplex Virus / HSV) oleh dokter Malvin. Terakhir saya tes TORCH adalah 3 tahun yang lalu. Kalau misalnya saya ada indikasi terinfeksi, infeksinya harus diobati terlebih dahulu sebelum hamil. Saya sekalian request tes kekentalan darah ke dokter karena saya belum pernah cek parameter tersebut.
Untuk tes TORCH bisa kapan saja tanpa perlu puasa, sedangkan untuk tes kekentalan darah, wajib puasa dulu 12 jam sebelum pengambilan darah. Cerita tentang hasil tes ini akan saya tulis di post berikutnya.
Expenses:
- Biaya admin RS + Konsultasi dokter + USG transvaginal = Rp. 805.000
- Obat Microgynon = Rp. 15.000
Total Expenses = Rp. 820.000
halo ci.. saya temukan blog cici saat sedang browsing mengenai bu brenda.. blog cici sangat inspiratif. ak juga terharu sama perjalanan perjuangan cici dan suami utk conceive…semoga buah karma baiknya dapat berbuah dikehidupan ini ya ci..
SukaSuka
Thank you, Rana!
SukaSuka