Road To IVF # 2 : RSIA Family Pluit

Setelah sempat vakum beberapa saat dari dunia progam hamil, akhirnya di bulan Desember 2018 ini saya dan suami berencana untuk fokus lagi ke program hamil. Kebetulan kuliah dan thesis pak suami sudah beres. Tinggal menunggu jadwal sidang tanggal 3 Januari 2019 saja.

Dikarenakan faktor usia yang semakin tidak muda lagi, saya dan suami memutuskan untuk kembali mencoba peruntungan IVF (Bayi Tabung) kembali, untuk kedua kalinya. Harapan medis paling besar untuk kasus kami, saya AMH rendah dan suami kualitas spermanya kurang baik, hanya melalui IVF. Oleh karena itu, niat inseminasi ke-3 kalinya dengan dokter Handojo harus kami urungkan. Lebih baik dananya dipakai untuk program IVF saja.

Untuk program IVF ke-2 ini, saya menolak untuk kembali ke Morula / BIC (Bunda International Clinic) di Menteng. Saya merasa sudah mencapai titik jenuh disana. Selain jalan menuju kesana hampir selalu macet, di BIC juga antrian dokternya panjang sekali. Saya pernah antri 2 jam untuk konsultasi ke dokter yang hanya 5 menit saja. Terlalu hectic menurut saya. Saya butuh suasana baru dari segi dokter dan kliniknya. Harapan saya dengan klinik yang baru nantinya saya bisa mendapatkan treatment dan protokol yang berbeda dengan di BIC dulu.

Pada awalnya, saya dan suami, mau mencoba konsultasi IVF dengan dr. Indra Anwar, Sp.OG yang merupakan dokter senior. Selain di BIC, beliau juga ada praktek di Indo Fertility RS Omni Alam Sutera. Kebetulan RS Omni Alam Sutera hanya 30 menit berkendara dari rumah saya. Akan tetapi, kami membatalkan rencana ini karena Indo Fertility termasuk klinik baru. Indo Fertility baru saja dibuka tanggal 18 Januari 2018 sehingga belum ada data success rate-nya. Selain dokter yang handal, kami juga mempertimbangkan kredibilitas kliniknya. Hal ini semata-mata karena kami merasa mulai dikejar usia.

Pencarian klinik berikutnya adalah Family Fertility Center (FFC) di RSIA Family Pluit. Lokasinya hanya 10 menit berkendara dari kantor pak suami. Selain itu, FFC sudah terbilang senior karena sudah berdiri sejak tahun 2004 dengan banyak success story. Review di forum-forum online juga cukup baik. Kalau dari segi pamor, memang FFC ini kalah jauh dengan BIC. BIC lebih terkenal karena banyak promo endorse public figure. Jadi, kali ini saya mau mencoba peruntungan IVF di FFC karena mereka menawarkan prosedur yang berbeda dari BIC.

15 Desember 2018

PhotoGrid_1545617422886.jpg

Saya dan suami tiba di FFC (terletak di lantai 3 RSIA Family Pluit) pk. 09.30 WIB tanpa perjanjian terlebih dulu. Saya langsung datang kesana pas hari mens ke-2. Setibanya disana, saya disambut petugas admin-nya dan dibilang datang kesiangan. Ternyata di FFC, dokter hanya ada Senin – Sabtu pk.07.30- 11.00 WIB saja. Disana pun tidak hectic sama sekali. Beda sekali dengan suasana di BIC. Hahaha. Ketika datang, saya memang sudah berinisiatif untuk membawa semua catatan medis saya dan suami yang berhubungan dengan program hamil yang pernah kami ikuti. Benar saja, saat itu suster meminta catatan medis kami untuk di-fotocopy dan jadi arsip di FFC. Setelah mengisi beberapa formulir pendaftaran pasien baru, kami diminta untuk menunggu dipanggil ke ruangan dokter.

Tidak lama menunggu, saya dan suami dipanggil masuk ke ruang dokter. Saat itu dokter yang menemui kami adalah dr. Malvin Emeraldi, Sp.OG (K-FER). Beliau dokter yang ramah dan (berusaha) tidak menakuti pasien dengan diagnosa macam-macam. Beliau bilang banyak pasien yang datang ke FFC mengalami hal yang sama dengan saya, yaitu AMH rendah. Walaupun cadangan telurnya tinggal sedikit, masih ada harapan untuk hamil kata dokter. Dokter menyayangkan sikap saya yang menunda-nunda IVF ke-2, karena menurut beliau kesempatan untuk berhasil tentu akan lebih besar kalau mengulang IVF. (Dalam hati saya, kalau IVF biayanya semurah itu sih 10 kali mengulang juga tidak jadi masalah.. tapi kan harganya bagi kantong saya dan suami masih termasuk mahal.. jadi memang jeda waktu yang ada dipakai untuk mengumpulkan biaya lagi. Hahaha).

Sama seperti halnya dokter-dokter kandungan yang pernah saya temui sebelumnya, dr. Malvin juga mengatakan bahwa chance terbesar saya untuk hamil adalah dengan IVF. Apalagi usia saya tidaklah muda lagi (35 tahun). Dokter menyuruh saya untuk mengulang semua test darah dan hormon, test sperma dan HSG karena hasil test laboratorium yang ada sudah expired. Ditambah lagi, akan ada test histeroskopi untuk memeriksa rahim saya. Semua test tersebut dijadwalkan berdasarkan durasi hari mens. Untuk hari ini, saya dan suami disuruh untuk melakukan test darah dan hormon. Pengambilan sampel darah dilakukan di laboratorium lantai 1.

Pengambilan sampel darah saya dan suami berlangsung cepat dan lancar. Menurut petugas laboratorium, hasil test akan keluar setelah 3-4 hari dan langsung dikirim ke dokter. Menurut saya, 3-4 hari itu termasuk lama sekali untuk sebuah hasil test darah dan hormon. Kemungkinan mereka tidak punya alat test-nya sehingga sampel darah harus dikirim ke laboratorium lain (pihak ke-3).

Setelah selesai dari laboratorium kami diminta kembali ke FFC lantai 3. Disana kami dipertemukan dengan dr. Muchsin Jaffar, Sp.PK selaku ketua tim IVF di FFC. Di ruangannya dokter menjelaskan bahwa di FFC ini yang menangani pasien adalah tim dokter. Berbeda dengan waktu di BIC dimana satu dokter untuk satu pasien dari awal sampai akhir. Di FFC, karena berupa tim, pasien bisa mendapati dokter yang berganti-ganti. Tapi, karena rekam medisnya sudah di pegang FFC maka seharusnya setiap dokter akan melakukan hal yang sama sesuai SOP (Standard Operating Procedures) dari FFC. Jadi sebagai pasien kita tidak perlu khawatir menemui dokter yang berbeda-beda nantinya.

Dokter Muchsin tidak terlalu menjelaskan tentang prosedur IVF karena saya dan suami dianggap sudah tahu dan memiliki pengalaman. Saya meceritakan ke beliau tentang prosedur IVF yang saya jalani di BIC dulu, yaitu IVF Mini Stimulation. Menurut beliau, untuk kasus AMH rendah memang biasanya prosedur yang dipilih adalah Mini Stimulation. Akan tetapi, beliau menyayangkan kenapa saya tidak mencoba IVF Standard Protocol dulu sebelumnya supaya bisa ada perbandingan dengan Mini Stimulation. Siapa tahu telur saya cukup baik responnya dengan IVF Standard Protocol. Walaupun memang tidak ada jaminan juga dengan dosis obat full di IVF Standard Protocol akan membuat sel telur saya merespon dengan baik. Oleh karena itu dokter Muchsin memberikan saya dan suami pilihan, mau IVF dengan Standard Protocol atau Mini Stimulation lagi. Tentu saja biaya IVF dengan Standard Protocol akan lebih mahal karena banyaknya obat yang akan digunakan. Dokter menyebutkan angka sekitar 60 juta lebih untuk biaya IVF Standard Protocol. Saya dan suami sepakat memilih Standard Protocol supaya bisa membandingkan hasilnya dengan Mini Stimulation waktu itu. Untuk obat suntik hormonnya pun akan menggunakan jenis obat yang saya belum pernah pakai sebelumnya, yaitu Pergoveris.

Dokter Muchsin membesarkan hati saya bahwa walaupun secara kuantitas sel telur saya sedikit, masih ada harapan buat saya untuk memiliki kualitas sel telur yang baik. Tujuan IVF sebenarnya adalah supaya bisa mendapatkan kualitas embrio yang bagus, terlihat dari pembelahan sel-nya nanti. Untuk itu, saya dan suami diminta untuk menjalani lifestyle hidup sehat. Kurangi konsumsi daging merah dan rajin berolahraga. Olahraga-nya tidak perlu berat, cukup jalan kaki 30-45 menit setiap harinya dengan frekuensi 4-5 kali seminggu. Selain itu saya dan suami diresepkan berbagai vitamin untuk menunjang kesehatan kami.

  • Resep obat untuk saya:
    – Folavit 1000 mcg 1 x 1 sehari
    – DHEA 25 mg 3 x 1 sehari
    – Vitamin D3 1.000 mg 2 x 1 sehari
    – Seloxy 1 x 1 sehari
  • Resep obat untuk suami:
    – Surbex Z 1 x 1 sehari
    – Vitan 2 x 1 sehari

Saya diberikan surat pengantar untuk melakukan HSG di RS Pluit tanggal 26 Desember 2018. Saya juga dibekali resep obat pereda nyeri untuk persiapan HSG, yaitu: Buscopan dan Ketros Suppo. Sekalian resep antibiotik yang harus diminum setelah selesai HSG, yaitu Interdoxin.

Setelah mendapatkan penjelasan tentang obat-obatan yang harus ditebus di apotek oleh suster, saya dan suami pergi ke bawah, lantai 1, untuk melakukan pembayaran di kasir.

EXPENSES:

  • Biaya laboratorium saya dan suami (tes darah dan hormon) = Rp. 4.670.000
  • Biaya administrasi, registrasi pasien baru, konsultasi dokter dan USG Transvaginal = Rp. 970.300

Total Biaya = Rp. 5.640.300

(Untuk obat-obatan tidak saya ambil di apotek RSIA Family karena saat itu lagi hectic dan stok obatnya ada yang habis)

Contact :
Family Fertility Center (FFC) – RSIA Family
Website: http://www.bayitabung-rsiafamily.com/
Address: Jl.Pluit Mas Blok A no. 2A-5A. Jakarta Utara 14450
Phone: 021-6695066 ext 1315

Iklan

2 pemikiran pada “Road To IVF # 2 : RSIA Family Pluit

  1. Hai kak , mau tanya kalau mau IVF kenapa harus HSG? Bukan nya HSG untuk mengecek tuba saja? dan tuba gak ada pengaruh untuk IVF. Thx

    Suka

    • Hai Luly,

      Benar HSG utk cek kondisi tuba. Dipakai utk screening IVF maksudnya adalah kalau ketahuan ternyata tuba dua2nya ga paten, berarti ga ada opsi lain selain ivf. Kalau cuma salah satu aja yg ga paten, mgkn dokter masih kasi opsi lain seperti promil alami atau insem, apalagi klo usia pernikahan msh sebentar.

      Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s