Di blog ini saya memang jarang menceritakan tentang kampung halaman saya. Saya lahir di Jakarta tapi besar di Samarinda. Jadi bisa dikatakan bahwa kampung halaman saya adalah Samarinda. Apalagi keluarga besar saya masih banyak di Samarinda. Saya memang orang yang jarang pulang ke kampung halaman sejak merantau ke Bandung tahun 2000. Biasanya jatah saya pulang adalah setahun sekali. Bukan kenapa-kenapa, tapi memang tiket pulang kampung ini cukup mahal dan perjalanannya melelahkan. Bisa dicek sendiri, tiket pesawat PP Jakarta-Balikpapan untuk satu orang standarnya sekitar 1,6 juta untuk flight selama kurang lebih 2 jam, belum pula dari Balikpapan ke Samarinda harus menggunakan transportasi darat 3 jam. Transportasi darat ini selain mobil pribadi, bisa juga menggunakan mobil travel (harga sekitar 150 ribu Rupiah per Orang untuk sekali perjalanan) dan sewa mobil (harga sekitar 350 ribu Rupiah untuk sekali perjalanan dengan menggunakan mobil standar Avanza).
Ada update terbaru mengenai bandara Samarinda. Saat ini bandara Samarinda sedang dalam proses akan diresmikan dan beroperasi tahun 2018. Konon rute penerbangan Samarinda – Jakarta akan diadakan. Kalau benar hal ini akan terjadi maka perjalanan pulang kampung ke Samarinda pasti akan lebih nyaman dan tidak melelahkan.
Berhubung dengan adanya long weekend tanggal 30 Maret – 1 April 2018, maka saya mengajak pak suami untuk ikut menemani saya pulang kampung ke Samarinda. Kebetulan tanggal 31 Maret tersebut ada perayaan ulang tahun nenek saya (Ibu dari Mama saya). Sejak menikah memang pak suami ini jarang bisa punya waktu untuk menemani saya pulang kampung.
Pulang kampung kali ini memang didedikasikan untuk acara keluarga. Saya tidak sempat untuk menghubungi teman-teman sekolah saya dulu di Samarinda karena waktu yang saya miliki di Samarinda cukup terbatas. Saya menginap di hotel Aston Samarinda yang lokasinya tidak terlalu jauh dengan rumah orang tua saya. Hotelnya bagus, bersih dan homey. Dari segi harga pun tidak terlalu mahal (kalau dibandingkan dengan hotel di Jakarta). Tidak heran banyak peminatnya sehingga saat long weekend kemarin semua kamar fully booked. Untungnya saya sudah pesan kamar jauh-jauh hari. Hotel Aston Samarinda ini memiliki akses penghubung ke Samarinda Central Plaza (SCP) yang merupakan salah satu tempat perbelanjaan di Samarinda. Jadi untuk sekedar beli air mineral dan snack sih tidak perlu jalan jauh-jauh.
Dikarenakan waktu yang terbatas, untuk urusan mencicipi kuliner Samarinda pun tidak banyak yang sempat kami datangi. Hanya sempat ke kedai Soto Banjar Ayam Kampung Hj. Wati di Jalan Gatot Subroto dan restoran Takigawa di Big Mall. Makanan favorit Samarinda yang tidak sempat didatangi terpaksa harus dibungkus untuk dibawa ke Jakarta. Untuk restoran Takigawa sebetulnya tidak ada yang spesial karena di Jakarta juga ada, tapi berhubung diajak adik saya makan disana ya sudah. Saya juga sekalian mau melihat mall baru di Samarinda, yaitu Big Mall.
Menurut saya, Big Mall ini adalah satu-satunya bangunan di Samarinda yang layak disebut sebagai mall. Tenant yang ada di Big Mall ini juga rata-rata sudah terkenal dan ber-merk. Target market Big Mall memang diperuntukkan untuk kalangan menengah ke atas. Berada di dalam Big Mall ini mengingatkan saya seperti mall di Jakarta dalam bentuk yang lebih sederhana.
Selain urusan keluarga dan kuliner, saya juga berkesempatan mengunjungi salah satu tempat rekreasi keluarga di Samarinda, yaitu Rumah Ulin Arya. Ulasan mengenai Rumah Ulin Arya akan saya buat di tulisan terpisah. Kalau digabung disini takutnya tulisannya jadi kepanjangan, hehe.
Ada pengalaman unik dari kegiatan pulang kampung kali ini. Saat hendak check in untuk penerbangan ke Jakarta di bandara Balikpapan, barang bawaan saya dipermasalahkan. Alasannya karena saya membawa udang galah mentah (walaupun sudah dibekukan dari Samarinda). Saya bukan kali ini saja membawa udang galah dari Samarinda ke Jakarta dengan menggunakan pesawat. Udang galah Samarinda ini memang favorit saya karena ukurannya besar dan harganya pun lebih murah daripada di Jakarta. Harga udang galah di Samarinda berkisar Rp. 90.000 – Rp. 130.000 per kilogram tergantung ukuran udang dan musimnya.
Pihak maskapai meminta saya untuk mengurus bawaan udang saya ke bagian karantina bandara. Perasaan deg-degan pun menghampiri saya karena seumur-umur saya belum pernah berurusan dengan bagian karantina. Dus bawaan saya pun dibongkar di ruang staff karantina bandara. Saya berpesan kepada staff karantina untuk menjaga supaya paket saya jangan sampai rusak dan setelah selesai diperiksa saya minta mereka untuk packing ulang yang rapi supaya bisa masuk ke bagasi pesawat. Pemeriksaan berjalan lancar. Staff karantina menjelaskan bahwa pemeriksaan ini untuk melindungi hasil sungai dan laut Kalimantan Timur. Mereka harus memastikan bahwa hasil sungai atau laut yang dibawa penumpang bukan dari jenis yang langka / dilindungi negara, juga dalam jumlah yang wajar (bukan untuk diperdagangkan). Bahkan menurut staff tersebut untuk destinasi tertentu misal ke Makassar, untuk membawa hasil sungai dan laut kesana harus melalui uji laboratorium dahulu yang dimaksudkan supaya hasil sungai dan laut yang dibawa dalam keadaan sehat, bebas dari penyakit.

Dari hasil pemeriksaan staff karantina bandara, saya tidak melanggar peraturan apa-apa mengenai membawa hasil sungai dan laut. Oleh karena itu pihak staff bandara membuatkan surat pengantar untuk ke pihak maskapai yang menerangkan udang galah bawaan saya masih dalam batas yang diperbolehkan untuk dibawa terbang. Saya hanya perlu membayar 5 ribu Rupiah untuk penerbitan surat tersebut. Wow! Saya sungguh takjub. Tadinya saya sudah berpikir bahwa saya harus membayar ratusan ribu untuk menyelesaikan urusan ini. Salut untuk pihak staff karantina bandara Balikpapan yang benar-benar bekerja tanpa memanfaatkan jabatan mereka. Semoga bisa terus kerja dengan jujur ya Pak! Hehehe.
Berbekal surat dari pihak karantina bandara, dus bawaan saya bisa diterima dengan baik oleh pihak maskapai dan akhirnya selamat mendarat di Jakarta. Sekedar tips yang saya peroleh dari pihak karantina bandara Balikpapan, untuk hasil sungai dan laut yang akan dibawa, kalau tidak mau repot dengan urusan karantina, lebih baik sudah dalam bentuk olahan masakan, bukan mentah. Tapi kembali lagi dengan selera dan kebutuhan masing-masing orang. Kalau saya tetap lebih suka bawa udang mentah supaya bisa diolah sesuai selera.
Demikian pengalaman saya berurusan dengan pihak karantina bandara. Apakah ada yang memiliki pengalaman yang sama? Silakan isi kolom komentar ya..