Oktober 2016
Dari hasil USG dengan dr. Arie di bulan Oktober 2016, ditemukan kista di indung telur saya sebelah kanan. Ukurannya sekitar 2,5 cm. Menurut dokter, jenis kista ini adalah kista hormonal. Kista ini adalah cangkang sel telur saya yang tidak pecah dari siklus menstruasi sebelumnya. Setelah dilihat dari riwayat USG saya di BIC, kista ini bahkan sudah ada dari bulan Juli 2016. Kista ini tidaklah berbahaya (tidak ada pertambahan ukuran dari bulan Juli sampai dengan November 2016, saya pun tidak ada gejala apa-apa seperti nyeri perut saat haid), hanya saja dikhawatirkan akan mengganggu keseimbangan hormon reproduksi saya. Keseimbangan hormon reproduksi ini memegang peranan penting saat proses IVF nantinya. Oleh karena itu dr. Arie mengatakan kista ini harus dihilangkan dulu sebelum mulai program IVF untuk meningkatkan success rate-nya. Saat itu dokter memberikan opsi ke saya untuk suntik pemecah telur atau sedot kista. Dr. Arie mengatakan untuk opsi suntik tersebut agak gambling karena kadang kista-nya belum tentu mau pecah tapi memang dari segi cost jauh lebih murah daripada opsi satunya. Saat itu saya memutuskan untuk mencoba peruntungan dengan suntik saja.
Selesai konsul dokter dan pembayaran tanggal 31 Oktober 2016 (H.23) malam, saya langsung diarahkan suster untuk suntik pemecah telur, Ovidrel 250 mg. Selain itu saya juga diberi obat minum Provera 10 mg dengan dosis 1 x 1 hari sebanyak 14 tablet yang bertujuan untuk membantu proses pemecahan cangkang telur tersebut. Menurut dokter efek samping dari mengkonsumsi provera ini adalah mundurnya jadwal menstruasi. Saya disuruh datang untuk kontrol kembali saat mens hari ke-2 siklus berikutnya.
Biaya:
– Konsul dokter + USG di BIC = Rp. 585.000
– Ovidrel injeksi 250 mg = Rp. 765.000
– Provera 10 mg = Rp. 214.900
November 2016
Saya baru dapat mens kembali tanggal 14 November 2016, mundur 5 hari dari jadwal siklus sebelumnya. Besoknya saat mens hari ke-2 saya konsul kembali ke dr. Arie. Ternyata kista saya ga merespon Ovidrel dan Provera. Kista itu tetap bergeming di kediamannya, ukurannya juga tidak mengecil, huhuhu. Oleh karena itu dr. Arie menyarankan saya untuk melakukan operasi sedot kista atau istilah di BIC-nya disebut tindakan fungsi kista. Operasi sedot kista ini direncanakan pada tanggal 6 Desember 2016, setelah ovulasi dan sebelum mens siklus berikutnya. Saya tidak dikasih obat apa-apa hanya surat rujukan untuk tes lab darah di lab prodia (cabang manapun) sebagai standar persiapan prosedur operasi. Parameter yang dicek adalah hematologi lengkap, waktu pendarahan, waktu pembekuan dan glukosa sewaktu. Tidak perlu puasa untuk melakukan tes lab ini. Hasil lab harus dibawa saat ke RS dan diserahkan ke dokter.
Biaya:
Konsul dokter + USG di BIC = Rp. 585.000
Desember 2016
Setelah berkonsultasi dengan agen asuransi saya, ternyata operasi kista ini bisa dicover dengan asuransi. Tapi syaratnya adalah saya harus dirawat inap minimal 2 x 24 jam di rumah sakit. Nah, permasalahannya operasi sedot kista ini di BIC dikategorikan sebagai one day care. Tindakan pagi dan sorenya pasien sudah boleh pulang. Hal ini juga disebabkan karena di BIC ga ada kamar rawat inapnya. Oleh karena itu saya berkoordinasi dengan dr. Arie dan susternya kalau saya mau rawat inap di RSIA Bunda Jakarta (satu grup dengan BIC dan lokasinya pun berdekatan) dari H-1 sebelum tindakan dan H+1 setelah tindakan. Tindakan tetap hanya bisa dilakukan di BIC karena alatnya hanya ada di BIC. Jadi dari RSIA Bunda Jakarta saya akan diantar jemput ke BIC.
- 2 Desember 2016
Saya disuruh tes lab darah untuk prosedur persiapan operasi. Saya memilih Prodia cabang Gading Serpong, Tangerang saja supaya dekat dari rumah. Hasil lab saya minta untuk dikirim ke RSIA Bunda dan via e-mail saya. Saat itu di Prodia lagi ada promo diskon 8% untuk pembayaran menggunakan kartu kredit Bank Mandiri.Biaya:
Test lab darah di Prodia = Rp. 248.000 (setelah diskon jadi Rp. 228.160) - 3 Desember 2016
Saya disuruh ketemu dengan dokter anastesi di RSIA Bunda Jakarta dengan membawa hasil test lab kemarin. Dokter Anastesi yang saya temui bernama dr. Ressi Bhakti. Dokter anastesi ini ruang prakteknya di dekat kamar operasi, hehe. Dr. Ressi mendata riwayat penyakit dan alergi saya, kemudian membaca hasil test lab darah saya dan melakukan pemeriksaan fisik (denyut jantung, tiroid, dan tekanan darah). Menurut dokter karena Hb (hemoglobin) saya bagus nilainya jadi pendarahannya ga akan banyak dan tidak perlu cadangan darah. Untuk alergi karena belum ada riwayat jadi saya bilang tidak tahu. Intinya secara pemeriksaan dokter dan lab saya dipastikan siap untuk tahap operasi. Dr. Ressi juga sedikit menjelaskan prosedur anastesi yang akan dilakukan nanti. Saya akan dibius total. Obat bius akan dimasukkan melalui topper infus. Obat bius akan bekerja langsung (hanya dalam 10 hitungan saja kita sudah langsung tak sadarkan diri). Dilarang untuk memakai parfum, perhiasan, gigi palsu (lepasan) dan retainer gigi (lepasan). Kalau untuk gigi palsu dan retainer gigi lepasan, alasannya adalah kalau ternyata operasi berjalan lebih lama dari yang diperkirakan kemungkinan obat bius akan ditambah berupa gas lewat hidung dan bisa jadi dibutuhkan selang bantu napas yang dimasukkan dari mulut. Nah, gigi palsu dan retainer gigi lepasan itu takutnya menyusahkan masuknya selang bantu napas.Biaya:
Konsul dokter anastesi = Rp. 335.000 - 5 Desember 2016
Saya datang ke RSIA Bunda Jakarta untuk request kamar inap dengan sudah membawa barang-barang pribadi persiapan untuk menginap di RS. Sistem di RS ini untuk kamar inap ga bisa dibooking jadi harus go show langsung, sedapatnya kamar apa yang lagi kosong jadi ga bisa terlalu milih-milih. Kebetulan saat saya datang kamar inap yang available hanya yang kelas 2 (harga Rp. 550.000 / malam) dan kelas perdana (harga Rp. 1.600.000 / malam). Padahal saya pengen dapat yang kelas utama (Rp. 1.100.000 / malam) yang ada extra bed-nya biar suami bisa nemanin di kamar tapi saat itu semua kamar utama sudah terisi dan belum ada pasien yang berencana keluar hari itu. Sehubung margin asuransi saya untuk kamar rawat inap maksimal hanya Rp. 750.000 / malam akhirnya saya ambil kamar kelas 2 saja. Untuk kamar kelas 2 ini, 1 ruangan ada 2 bed jadi kita sharing room dengan pasien lain. Keluarga ga boleh ada yang menginap di ruangan. Suami saya akhirnya harus buka kamar hotel lagi biar bisa dekat sama saya, dia akhirnya memilih Hotel Cikini yang murah meriah dan tidak begitu jauh dari RS. Sebenarnya Hotel Marcopolo jauh lebih dekat daripada Hotel Cikini, tinggal nyebrang jalan aja dari RS, tapi harganya jauh lebih mahal, hehe. Opsi bolak balik ke rumah Tangerang agak tidak memungkinkan (macetnya gila-gilaan di jam berangkat kantor) karena besok saya dapat jadwal operasi pagi di BIC jadi jam 9 pagi saya harus sudah standby di BIC. Saya diwajibkan untuk puasa 8-10 jam untuk operasi besok.
Fasilitas kamar kelas 2 di RSIA Bunda Jakarta ini cukup nyaman, makanan-nya enak-enak pula. Standar asupan makanan di RS ini sesuai standar untuk ibu hamil dan menyusui. Untung aja saya ga lama-lama disini, kalau ga bisa-bisa badan saya jadi bengkak gendut karena kebanyakan makan, hahaha. Teman sekamar saya adalah ibu hamil yang lagi nunggu pembukaan. Padahal saya sih sudah mempersiapkan diri sebelumnya untuk sharing kamar dengan ibu yang baru melahirkan dan drama tangisan bayi di tengah malam. Namanya kan juga nginap di RSIA gitu lho, hehehe.
Oya, walaupun beda badan usaha antara BIC dan RSIA Bunda Jakarta, tapi karena mereka masih satu grup perusahaan, kita bisa request untuk 1 billing aja nantinya biar ga rancu saat klaim ke pihak asuransi. - 6 Desember 2016
Saya diantar naik mobil dengan ditemani seorang suster dari RSIA Bunda Jakarta ke BIC. Suster kemudian menyerahkan berkas medis saya ke resepsionis ruang operasi di BIC lantai 2. Saya kemudian diantar ke ruang ganti. Saya disuruh mengganti pakaian yang saya kenakan dengan kimono batik dan disuruh menggunakan penutup kepala. Suami saya juga diijinkan masuk untuk menemani sampai di ruang persiapan operasi. Tentunya pak suami juga disuruh memakai penutup kepala dan jubah khusus. Ruangan operasi saya ini adalah ruangan yang sama untuk OPU (Ovum Pick Up) para pasien IVF.
Saya kemudian disuruh berbaring di ranjang di ruang persiapan operasi. Topper infus pun dipasang di punggung tangan kiri saya.Tak lama kemudian dokter jaga pun datang memeriksa tekanan darah dan denyut jantung saya. Sekali lagi saya ditanya tentang riwayat alergi obat dan saya pun menjawab tidak tahu.
Saya masuk ke ruang operasi sekitar jam 10.30. Suami tidak boleh ikut masuk dan disuruh menunggu diluar. Ruang operasi ini ga seperti di film yang ada bed dan lampu sorot besar nan terang-nya. Ruang operasi ini suasananya ga begitu menyeramkan. Saya disuruh duduk di kursi yang ada penyangga kaki-nya kayak orang melahirkan itu. Kemudian disuruh berbaring rileks dan posisi pantat diatur sedemikian rupa karena sedot kista akan dilakukan via vagina tanpa proses bedah. Topper infus saya dibuka dan diinjeksikan sesuatu cairan (obat bius) dan ga lama kemudian saya ga sadarkan diri! Operasi berjalan selama kurang lebih 30 menit. Saya ga berasa sakit dan ga ingat apapun yang sehubungan dengan operasi. Tahu-tahu saat sadar dan mulai membuka mata saya sudah di ruang pemulihan operasi. Suami juga sudah standby disamping saya saat saya buka mata. Selang di hidung pun dicopot oleh suster.Mata Bengkak Karena Reaksi Alergi Antibiotik Saat saya sadar saya melihat lengan kanan saya ada titik biru dan ditandai oleh pulpen. Rupanya itu adalah skin test sebelum obat antibiotik injeksi-nya disuntikkan lewat topper infus kita. Ternyata saya alergi dong dengan antibiotik injeksi-nya, Trijec (Ceftriaxone Disodium). Trijec bikin mata saya bengkak dan kulit saya bentol-bentol. Padahal itu masih skin test aja lho.. Gimana jadinya kalau langsung disuntik 1 ampul ke peredaran darah saya ya, ckck. Akhirnya obat antibiotik saya diganti dengan obat minum saja yang namanya Lanfix (Cefixime 100 mg) dengan dosis minum 2 x 1 hari sampai habis . Kemudian dikasih obat anti nyeri juga yang namanya Zaldiar (Tramadol & Paracetamol) dengan dosis 2 x 1 hari.
Ini cairan kista yang disedot Setelah operasi saya pun dijemput kembali oleh suster di RSIA dengan menggunakan mobil. Efek obat bius masih berasa banget dan bikin saya kleyengan. Belum lagi perasaan mengantuk yang bikin kita tidur terus. Kata suster sih wajar karena efek obat bius masih bisa tersisa di tubuh kita sampai 2 x 24 jam ke depan. Oleh karena itu kita disuruh banyak minum supaya sisa obat bius-nya bisa terbuang lewat urine. Saya tidak mengalami efek nyeri perut setelah operasi. Perutnya nyeri sedikit aja seperti kalau lagi mens. Tidak ada keluar darah juga saat buang air kecil.
- 7 Desember 2016
Saya keluar RS dan kembali ke rumah setelah visit dokter dan menyelesaikan administrasi RS.Biaya:
– Kamar Rawat Inap Kelas 2 RSIA Bunda Jakarta 2 malam = Rp. 1.100.000
– Visit dokter = Rp. 220.000
– Tindakan Operasi Sedot Kista = Rp. 8.279.250
– Obat Minum setelah tindakan operasi = Rp. 656.400
Setelah ini saya disuruh balik kontrol lagi ke dr. Arie saat mens hari ke-2 untuk melihat apakah kista-nya sudah benar-benar luruh dan rahim saya siap untuk memulai IVF.
Hallo cici salam kenal, saya lisa, saya iseng cari review ttg dr devindran ehh nemu blog cici. Cici hebat banget ga banyak orang yang lagi berjuang tapi masih sempet share pengalamannya ke orang lain. Semoga tuhan yang maha pemurah kasih rejeki berupa keturunan yang selama ini cici dan suami rindukan ya ci. Semoga perjuangan cici membuahkan hasil
SukaSuka
Halo Lisa.. Namanya hampir sama ya, hehe. Makasih supportnya 🙂
SukaSuka