Road Accident

Hai para readers semua, maafkan saya yang baru kembali ke peredaran blog. Selama 3 minggu ini saya sibuk mengurus suami yang habis kecelakaan (akan saya ceritakan detailnya pada tulisan dibawah ini) dan juga kedatangan keluarga dari Samarinda. Jangankan untuk nge-blog, rasanya untuk pampering myself aja, menikmati me-time rasanya ga ada waktu, huhuhu. Sekarang baru bisa nyentuh laptop lagi setelah keadaan cukup terkendali dan keluarga saya sudah pulang kembali ke Samarinda.

18 Juli 2016

Malam itu saya menunggu suami pulang seperti biasanya. Kota Tangerang sedang hujan gerimis, setelah sore-nya diguyur hujan deras. Tidak biasanya suami saya pulang telat tanpa pemberitahuan. Waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 19.00 WIB. Tiba-tiba saya mendengar pagar rumah terbuka dan mendengar suara suami sedang berbicara dengan seorang pria. Saya pun membukakan pintu rumah untuk suami. Tapi terkejutnya saya mendapati suami saya meringis kesakitan dan berjalan terpincang-pincang. Kaki kirinya lecet sedikit dan dia terus mengeluhkan sakit punggung yang luar biasa. Dengan bantuan pria yang datang ke rumah bersama suami saya tersebut, saya membaringkan suami saya di kamar bawah. Pria itu mengaku telah menabrak suami saya di jalan raya depan jalan masuk kompleks perumahan dengan motor-nya (tipe motor yang agak gedean, bukan standar motor bebek pokoknya) ketika suami saya menyebrang jalan. Pria tersebut saya cek juga mengalami sedikit lecet berdarah di tangannya. Dia terus menerus meminta maaf sampai dia pamit pulang. Dia juga meninggalkan nomor handphone orang tua-nya kepada saya kalau butuh bantuan lebih lanjut. Dikemudian hari diketahui bahwa pria itu masih berstatus sebagai pelajar kelas 3 SMU.

Setelah pria itu pulang, saya kembali mengurus suami saya yang terbaring di ranjang. Saya membersihkan badannya dari lumpur dan air hujan, mengganti bajunya dan menyuapi dia makan di ranjang. Awalnya saya sedikit menyepelekan sakit suami saya ini karena saya tidak melihat luka memar berlebihan di punggungnya (yang sakitnya terus dikeluhkan oleh dia). Ankle kaki kiri memang memar dan agak lecet. Tidak ada luka berdarah-darah juga yang terlihat oleh mata saya. Saya pikir saat itu suami cuma terkilir biasa, makanya saya olesin bagian yang sakit dengan minyak Tawon dan juga Counterpain. Tapi ketika pukul 21.00 suami saya masih meringis kesakitan walaupun sudah dalam kondisi berbaring, saya pun memutuskan untuk membawa suami ke Rumah Sakit (RS) saja.

Saya memilih rumah sakit yang lokasinya dekat rumah dengan reputasi yang baik tentunya. Pilihan jatuh ke Siloam Hospital Lippo Village (SHLV) di Karawaci, Tangerang. Saya meminta bantuan adik laki-laki saya yang kebetulan datang dari Samarinda untuk membawa saya dan suami ke Unit Gawat Darurat (UGD) SHLV. Setelah sampai di UGD SHLV, adik saya mengurus administrasi RS. Kebetulan saya dan suami memiliki asuransi pribadi yang memiliki kartu jaminan medis, jadi tinggal setor kartu asuransi saja tanpa perlu bayar deposit apa-apa. Saking penuhnya pasien UGD dan keterbatasan dokternya, penanganan suami saya cukup lama. Suami harus antri dokter, antri periksa darah, antri rontgen dan bahkan antri kamar rawat inap. Setelah sekitar 1,5 jam suami pun dapat giliran untuk rontgen. Dari hasil rontgen punggung (lumbal) dan ankle kaki kiri, ditemukan ada retakan. Retakan itulah yang membuat suami saya terus kesakitan. Dokter jaga UGD pun segera menelpon Dokter Spesialis Bedah Tulang oncall bernama dr. Putut Sugiantoro, Sp.OT & Surgeon. Sekitar 30 menit dokter tiba di UGD dan menemui suami saya. Beliau membacakan hasil rontgen suami. Menurut beliau, dikarenakan retakan yang terjadi volumenya kurang dari 50% maka suami saya tidak perlu dioperasi, Tapi beliau merekomendasikan suami untuk menjalankan MRI untuk melihat retakannya lebih detail. Suami pun diresepkan obat pain killer untuk mengatasi rasa nyerinya (diberikan secara injeksi). Setelah menunggu 1,5 jam kemudian (dan pakai acara marah-marah di pendaftaran rawat inap karena katanya kamar yang ada sudah full dan tinggal type Suites / VVIP yang tentunya tidak masuk plafon asuransi kami dan bikin nombok nantinya), akhirnya suami dapat kamar rawat inap kelas 1. Suami masuk kamar rawat inap sekitar pukul 02.00 WIB.

IMG_20160720_112127[1]

IMG_20160719_093938[1]

Kamar rawat inap kelas 1 diisi oleh 2 pasien, jadi selain sharing room, kita juga akan sharing AC, TV dan kamar mandi. Penunggu pasien yang diperbolehkan nginap di kamar dibatasi hanya 1 orang. Penunggu pasien hanya diberi matras tipis untuk alas tidur di lantai. Untungnya pada saat itu saya sudah siap sedia membawa bantal dan selimut dari rumah (yang ternyata secara peraturan RS tidak diperbolehkan tapi saya cuek aja karena kalau saya ga bisa tidur layak di RS nanti ujung-ujungnya saya jadi ikutan sakit.. kalau saya sakit, siapa yang ngerawat dan nemanin suami saya di RS? hehe. Saya baru tahu tentang peraturan itu dari seorang suster setelah 3 hari menginap di RS). Saya juga sudah mempersiapkan alat mandi dan pakaian ganti untuk menginap di RS saat itu.

19 Juli 2016

Suami di MRI lumbal sesuai rekomendasi dari dr. Putut Sugiantoro, Sp.OT & Surgeon. Dari hasil MRI menurut dokter, ujung retakan ruas tulang belakangnya tidak mengenai syaraf sehingga dapat dipastikan suami tidak perlu dioperasi. Dokter hanya meresepkan gips untuk ankle kaki kiri (wajib dipakai selama 1,5 bulan), Jewett Brace untuk tulang belakang (wajib dipakai selama 3 bulan) dan tongkat / kruk / crutch yang dipakai selama masa pemulihan. Obat pain killer lewat injeksi juga masih diberikan karena suami masih merasa nyeri di punggungnya.

20 Juli 2016

Suami masih bed rest di RS seperti kemarin-kemarin. Untuk makan (disuapin), mandi (washlap) dan pipis (pakai pispot) pun harus dilakukan di ranjang. Tentu saja suami maunya sama saya, ga mau dilakukan oleh suster. Malu katanya. Jadi kebayang dah gimana sibuknya saya merawat seorang “bayi besar”. Belum pula kalau tengah malam dia mau pipis (pakai pispot). Tidur normal 8 jam rasanya jadi suatu kemewahan buat saya. Suami masih terus diinjeksikan obat pain killer.

21 Juli 2016

Dokter Rehabilitasi Medis, dr. Johan Talesu, Sp.KFR, datang berkunjung dan menanyakan suami saya tentang type Brace yang mau dipakai. Ada 2 type Brace: Type 1 adalah custom, dibuat oleh tukang sesuai dengan lekuk tubuh kita. Harga lebih murah, sekitar 1 juta-an. Kekurangannya adalah kita harus menunggu sekitar 2 hari sampai barangnya jadi dan dikirim (made by order). Kemudian kata Dokter, bahannya kurang nyaman dan ga bisa dipakai pasien sendirian karena menggunakan kancing / kaitan di belakang, jadi pemasangannya harus dibantu oleh orang lain. Type 2 adalah Jewett Brace yang ready stock, made in Germany. Ukurannya berupa S, M, L dan XL. Bahannya lebih bagus dan posisi kaitannya ada di samping sehingga pasien memungkinkan untuk memasang brace sendiri. Dari segi harga memang Jewett Brace ini lebih mahal, harga berkisar 5 juta-an. Suami memilih Jewett Brace made in Germany karena dia pengen segera keluar RS dan bisa latihan duduk serta jalan.

IMG_20160721_173045[1]

IMG_20160721_212329[1]

Siang harinya suami saya dibawa ke Operation Theatre (OT) atau kamar operasi untuk dilakukan pemasangan gips di kaki kirinya. Walaupun judulnya di kamar operasi tapi suami saya ga ada tindakan operasi atau anastesi lho ya. Kebetulan aja alat gips-nya ditaruh di ruang operasi, jadi mau ga mau ya pemasangannya disana. Pemasangan gips berlangsung setengah jam dan kemudian suami saya dibawa kembali ke kamar. Terapis fisioterapi datang di sore hari membawakan pesanan Jewett Brace suami saya (dapat Jewett Brace ukuran M). Suami (dan saya tentunya) diajarkan cara pasangnya. Kemudian suami diajarkan cara berjalan dengan tongkat. Untuk first timer kayak suami saya ini, berjalan dengan tongkat butuh effort yang besar karena jalannya hanya dengan satu kaki dan sambil agak melompat dengan disangga tongkat. Alhasil jalan beberapa langkah aja udah keringatan, hehe. Karena baru pertama kali jalan dengan tongkat begini, punggung suami yang kemarin nyeri-nya agak berkurang kembali sakit lagi. Kata dokter kemungkinan ototnya kaku karena kelamaan ga jalan. Makanya suami dikasih obat pelumas otot.

22 Juli 2016

Suami masih ada sesi latihan jalan dengan terapis fisioterapi. Dengan adanya Jewett Brace suami sudah dibolehkan untuk bisa duduk (walaupun masih nyeri tentunya), ga harus tiduran melulu kayak kemarin. Kesempatan ini dimanfaatkan suami untuk bisa BAB di WC langsung, haha. Selama bed rest kemarin suster suruh suami BAB di pampers aja, tapi suami ga mau dan rela nahanin sampai bisa duduk.

23 Juli 2016

Kami sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Sungguh bosan rasanya tinggal di RS sekian lama. Kangen sama rumah sendiri, hehe. Sebelum pulang, suami masih ada 1 kali latihan jalan terakhir dengan terapis fisioterapi. Setelah selesai urusan administrasi RS dan asuransi kami pun pulang ke rumah. Good news adalah semua biaya selama di RS bisa dicover oleh asuransi pribadi kami sehingga ga perlu nombok. Suami diberi surat istirahat di rumah selama seminggu sebelum bisa masuk kantor kembali.

Biaya selama di RS:

  • UGD
    – Rontgen Lumbal = Rp. 410.000
    – Rontgen Pedis = Rp. 260.000
    – Test darah = Rp. 1.144.000
    – Dokter fees = Rp. 510.000 (Dokter jaga UGD dan Dokter Oncall)
    -Obat-obatan dan administrasi = Rp. 298.500
    TOTAL = Rp. 2.622.500
  • Rawat Inap Kelas 1
    – MRI Lumbal = Rp. 2.244.000
    – Rontgen Ankle = Rp. 330.000
    – Jewett Brace = Rp. 5.373.720
    – Gips kaki kiri = Rp. 3.609.000
    – Tongkat / Crutch = Rp. 341.000
    – Kamar 5 hari = Rp. 2.250.000
    – Dokter fees = Rp. 950.000
    – Kamar tindakan = Rp. 143.000
    – Fisioterapi 4x = Rp. 744.000
    – Obat-obatan dan administrasi = Rp. 3.775.680
    TOTAL = Rp. 19.760.400

    GRAND TOTAL = Rp. 22.382.900

Biaya selama di RS semua dicover oleh asuransi pribadi. Kantor suami hanya menyediakan fasilitas BPJS. Pada saat kejadian saya lebih memilih menggunakan asuransi pribadi karena secara manfaat tanggungannya mungkin lebih besar tentunya selama kita bisa pintar-pintar memilih kamar supaya ga melebihi plafon asuransi kita. Fyi, untuk tindakan dan visit dokter yang sama harganya di RS akan berbeda-beda tergantung kita rawat inap di kelas berapa. Tentunya harga tindakan dan dokter di kelas VIP lebih mahal dari kelas 1, hehe.

Banyak kerabat yang nanya, terus yang nabrak tanggung jawab ga? pas tanggal 19 Juli 2016 itu orang tua dari pria yang menabrak suami saya datang berkunjung. Anaknya ga datang karena katanya habis tabrakan dia luka juga dan agak demam. Bapaknya menawarkan kita untuk mengurus asuransi Jasa Raharja untuk kecelakaan lalu lintas (yang katanya besarannya bisa mencapai maksimum 10 juta rupiah). Bapaknya sedikit menyiratkan kalau biaya RS suami saya dia ga bisa bantu karena keterbatasan ekonomi. Bapaknya kerja di Samsat jadi dia menawarkan bantuan ngurus asuransi Jasa Raharja ke kepolisian. Tapi saat itu saya dan suami menolak bantuan itu dan lebih mengandalkan asuransi pribadi saja. Alasannya simple, saya malas nanti suami saya sampai diinterogasi sama polisi di RS, mengganggu istirahatnya dan mungkin menjatuhkan mentalnya, hanya demi uang yang jumlahnya ga seberapa (dari uang max. 10 juta itu nantinya masih akan ada potongan ini-itu untuk kepolisian dll). Saya mikirnya hanya yang terbaik aja buat suami saya supaya cepat sembuh. Saya dan suami sangat menghargai kedatangan mereka, paling ga mereka menunjukkan tanggung jawab secara moril kepada suami saya. Moral of the story adalah asuransi itu penting lho. Dulu saya pernah bilang sih sama suami.. “Ini kita bayar asuransi melulu tiap bulan tapi ga pernah kepake ya manfaatnya..” Eh ternyata ada kejadian begini. Emang musibah itu ga tau kapan datangnya, yang penting kita sudah punya manfaat proteksi terhadap musibah. Paling ga soal biaya kita ga terlalu pusing lagi, jadi bisa fokus ke kesembuhan pasien aja.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s